Jumat, 17 Juni 2016

Nafas Hidup



Kamu adalah bagian dari nafas hidupku. Setelah pernikahan suci ini terlaksana



Fiksi mini (fiknim) adalah fiksi yang terdiri atas secuil kalimat. Fikmin bukan merupakan tren yang baru, melainkan memiliki sejarah yang sangat panjang. Pada tahun 1920-an Ernest Hemingway (dalam Noor) menuliskan sebuah novel yang dikatakannya sebagai ‘novel terbaik dunia’ hanya dalam enam kata. Isi novel tersebut adalah For Sale: Baby Shoes, Never Worn. Bukan hanya Hemingway yang piawai menulis novel mini. Karya serupa sudah ada sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi, tepatnya pada karya Aeosop (620—560 SM) (Noor, 2013). Salah satu karya Aeosop (2010) diberi judul “The Two Pots” berikut ini.


Two Pots, one of brass and the other of clay, stood together on the hearthstone. One day the Brass Pot proposed to the Earthen Pot that they go out into the world together. But the Earthen Pot excused himself, saying that it would be wiser for him to stay in the corner by the fire.

"It would take so little to break me," he said. "You know how fragile I am. The least shock is sure to shatter me!"

"Don't let that keep you at home," urged the Brass Pot. "I shall take very good care of you. If we should happen to meet anything hard I will step between and save you."

So the Earthen Pot at last consented, and the two set out side by side, jolting along on three stubby legs first to this side, then to that, and bumping into each other at every step.

The Earthen Pot could not survive that sort of companionship very long. They had not gone ten paces before the Earthen Pot cracked, and at the next jolt he flew into a thousand pieces.

 (Dua buah teko, satu terbuat dari tembaga, sedangkan yang lain dari tanah liat terletak berdampingan di atas tungku. Pada suatu  hari, Teko Tembaga mengajak Teko Tanah Liat untuk berjalan-jalan di luar. Namun, Teko Tanah Liat menolak ajakan itu sambil berkata bahwa lebih baik ia tinggal di sudut tungku saja.

“Wah, aku takut celaka,” katanya. “Kamu tahukan kalau aku sangat rapuh? Goncangan sedikit saja bisa menghancurkan aku.”

“Aku tidak akan meninggalkan kamu sendirian,” tukas Teko Tembaga. “Aku akan selalu menjagamu. Jika ada penghalang, aku akan menghindarinya dan menyelamatkan kamu.”

Teko Tanah Liat akhirnya menyerah. Kedua teko itu berjalan berdampingan sambil tidak  hentinya melompat dengan ketiga kaki cebol ke kiri dan kanan. Kedua teko itu selalu bertubrukan pada setiap lompatan. Belum mencapai lompatan kesepuluh, Teko Tanah Liat sudah retak. Pada hitungan selanjutnya, tubuhnya hancur berkeping-keping.)

Sumber: http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1350


0 comments:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger