Kamu adalah
bagian dari nafas hidupku. Setelah pernikahan suci ini terlaksana
Fiksi mini
(fiknim) adalah fiksi yang terdiri atas secuil kalimat. Fikmin bukan merupakan
tren yang baru, melainkan memiliki sejarah yang sangat panjang. Pada tahun
1920-an Ernest Hemingway (dalam Noor) menuliskan sebuah novel yang dikatakannya
sebagai ‘novel terbaik dunia’ hanya dalam enam kata. Isi novel tersebut adalah
For Sale: Baby Shoes, Never Worn. Bukan hanya Hemingway yang piawai menulis
novel mini. Karya serupa sudah ada sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi,
tepatnya pada karya Aeosop (620—560 SM) (Noor, 2013). Salah satu karya Aeosop
(2010) diberi judul “The Two Pots” berikut ini.
Two Pots,
one of brass and the other of clay, stood together on the hearthstone. One day
the Brass Pot proposed to the Earthen Pot that they go out into the world
together. But the Earthen Pot excused himself, saying that it would be wiser
for him to stay in the corner by the fire.
"It
would take so little to break me," he said. "You know how fragile I
am. The least shock is sure to shatter me!"
"Don't
let that keep you at home," urged the Brass Pot. "I shall take very
good care of you. If we should happen to meet anything hard I will step between
and save you."
So the
Earthen Pot at last consented, and the two set out side by side, jolting along
on three stubby legs first to this side, then to that, and bumping into each
other at every step.
The Earthen
Pot could not survive that sort of companionship very long. They had not gone
ten paces before the Earthen Pot cracked, and at the next jolt he flew into a
thousand pieces.
(Dua buah
teko, satu terbuat dari tembaga, sedangkan yang lain dari tanah liat terletak
berdampingan di atas tungku. Pada suatu
hari, Teko Tembaga mengajak Teko Tanah Liat untuk berjalan-jalan di
luar. Namun, Teko Tanah Liat menolak ajakan itu sambil berkata bahwa lebih baik
ia tinggal di sudut tungku saja.
“Wah, aku
takut celaka,” katanya. “Kamu tahukan kalau aku sangat rapuh? Goncangan sedikit
saja bisa menghancurkan aku.”
“Aku tidak
akan meninggalkan kamu sendirian,” tukas Teko Tembaga. “Aku akan selalu
menjagamu. Jika ada penghalang, aku akan menghindarinya dan menyelamatkan
kamu.”
Teko Tanah
Liat akhirnya menyerah. Kedua teko itu berjalan berdampingan sambil tidak hentinya melompat dengan ketiga kaki cebol ke
kiri dan kanan. Kedua teko itu selalu bertubrukan pada setiap lompatan. Belum
mencapai lompatan kesepuluh, Teko Tanah Liat sudah retak. Pada hitungan
selanjutnya, tubuhnya hancur berkeping-keping.)
Sumber: http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1350
0 comments:
Posting Komentar